KUA Untuk Kita: Mencatat Perkawinan Semua Pemeluk Agama
Di bawah kepemimpinan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas (2020-2024) program revitalisasi Kantor Urusan Agama (KUA) diluncurkan. Salah satu agendanya adalah untuk menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan perkawinan bagi semua pemeluk agama. Pro dan kontra muncul dari publik merespon kebijakan tersebut. Melalui serangkaian Focused Group Discussion (FGD), Balitbangdiklat telah mengkaji kontroversi persoalan ini dari sudut pandang historis – yuridis dan Policy Brief ini disusun berdasarkan kajian tersebut. Kedepannya, Balitbangdiklat juga akan mengkaji dari aspek sosiologis dengan metode survey.
Dari segi kesejarahan, pemisahan institusi yang mencatatkan perkawinan antara masyarakat Islam dan selain Islam telah berlangsung sejak masa pemerintahan kolonial Belanda. Implikasi praktisnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan, penduduk non-Muslim wajib mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil atau Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) sesuai domisili. Akan tetapi, seperti ditemukan dalam hasil kajian ini, pemisahan layanan pencatatan perkawinan tersebut membawa berbagai persoalan efisiensi. Kesulitan akses dan kerumitan teknis lainnya kerap menghambat kepatuhan pencatatan perkawinan sesuai regulasi.
Kajian ini merekomendasikan agar KUA dapat difungsikan untuk mencatat perkawinan yang dilaksanakan semua umat beragama. Konsekuensinya, bukan hanya sejumlah regulasi eksisting perlu ditinjau, namun beberapa ketentuan baru pun mesti diusulkan agar penduduk beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu dapat mencatatkan perkawinan mereka di KUA.